Jump to content

Lima belas tahun sudah saya berkecimpung di dunia blogging, sebuah perjalanan yang dimulai sejak 2009, September, saya lupa tanggalnya. Apa yang saya dapat?

Selama waktu itu, saya telah menjadi saksi hidup dari pasang surut tren, teknologi, dan platform. Namun, di atas semua perubahan itu, ada satu kesimpulan pahit yang saya telan namun jujur saya ceritakan: mengeblog sendirian adalah sebuah perjuangan yang luar biasa berat. Orang bilang setengah mati. Ini adalah pekerjaan yang menuntut dedikasi, menguras energi, dan sering kali terasa seperti pertarungan sunyi.

Perjuangan ini, bagi saya, terangkum dalam tiga medan juang utama.

1. Membuat Konten

Pergulatan Abadi antara Ide dan Eksekusi

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur. Excepteur sint occaecat cupidatat non proident, sunt in culpa qui officia deserunt mollit anim id est laborum.

Medan juang pertama adalah penciptaan konten. Di awal, segalanya terasa begitu mudah. Api semangat masih berkobar, memungkinkan saya melahirkan hingga lima artikel dalam sehari. Namun, setelah ratusan tulisan, sumur kreativitas itu mulai mengering. Obsesi pada bulatan hijau dari plugin SEO turut menambah beban, mengubah proses menulis yang seharusnya bebas menjadi sebuah tugas yang melelahkan. Ide mungkin tak pernah benar-benar padam, tetapi menuangkannya menjadi artikel yang runut, informatif, dan memiliki ‘nyawa’ bisa memakan waktu berjam-jam.

Di tengah kebuntuan itu, secercah cahaya hadir dari arah yang tak terduga: kecerdasan buatan (AI). Kehadiran Gemini, ChatGPT, dan teknologi sejenisnya berhasil menyalakan kembali gairah menulis saya yang lama mati suri. Riset kata kunci, pembuatan kerangka, hingga draf awal kini bisa tersaji dalam hitungan menit.

Meski begitu, saya sadar bahwa AI adalah asisten, bukan pengganti. Saya belum dan tidak akan menyerahkan kepercayaan 100% padanya. Setiap baris kalimat yang dihasilkannya harus saya periksa, saya poles, dan yang terpenting, saya tiupkan 'jiwa'. Tulisan tanpa sentuhan emosi dan perspektif unik penulisnya akan terasa kaku dan hampa. Harus saya akui, berkolaborasi dengan AI jauh lebih efisien daripada menulis ulang karya orang lain yang berisiko plagiarisme. Namun, tantangan untuk tetap orisinal kini bergeser menjadi bagaimana kita sebagai penulis mampu memberikan nilai tambah yang tidak dimiliki mesin.

2. Mengelola 'Rumah' Digital

Di Balik Layar Kode dan Pemeliharaan

Tantangan kedua terletak pada aspek teknis: mengelola blog itu sendiri. Generasi blogger masa kini mungkin tidak akan pernah merasakan rumitnya membangun situs dari nol dengan HTML, CSS, dan JavaScript. Platform modern seperti WordPress atau bahkan Blogger telah menyajikan kemudahan luar biasa lewat antarmuka intuitif dan fitur drag-and-drop.

Namun, kemudahan sering kali datang dengan nilai tukarnya sendiri. Platform yang sangat mudah seperti Blogger memiliki keterbatasan fitur yang bisa menghambat pertumbuhan. Sebaliknya, platform yang kaya fitur seperti WordPress menuntut kurva belajar yang lebih curam dan pemeliharaan yang lebih intensif. Ini adalah pilihan abadi antara kemudahan dengan keterbatasan, atau fleksibilitas dengan kompleksitas.

Bagi saya, membangun "rumah" digital ini mudah, tetapi merawat dan menjaganya agar tetap aman, cepat diakses, dan relevan dengan perkembangan teknologi adalah pekerjaan tanpa akhir yang sering kali lebih menyusahkan daripada menulis itu sendiri.

3. Konsistensi

Maraton Terpanjang Melawan Diri Sendiri

Inilah puncak dari segala kesulitan, yang dalam bahasa Jawa kerap disebut ajek. Konsistensi. Di awal, menulis setiap hari terasa seperti lari cepat yang memabukkan. Namun, mempertahankan ritme itu selama bertahun-tahun lebih terasa seperti maraton tanpa garis finis yang jelas. Satu tahun terasa sebagai pencapaian; lima belas tahun terasa seperti ujian ketahanan mental.

Banyak blogger berbakat yang saya lihat tumbang di tengah jalan, bukan karena kehabisan ide, tetapi karena kehabisan napas. Rasa jenuh, godaan untuk berhenti, dan tuntutan hidup lainnya adalah musuh utama. Konsistensi dalam blogging bukan sekadar frekuensi publikasi, melainkan komitmen untuk menjaga kualitas, fokus pada ceruk (niche), dan terus belajar.

Ini bukan lagi pertarungan melawan algoritma atau kode, melainkan pertarungan melawan diri sendiri. Katanya, kunci untuk bisa ajek adalah disiplin, manajemen waktu, dan yang terpenting, hasrat (passion) yang membara pada apa yang kita bagikan. Tanpa itu, konsistensi hanyalah sebuah angan.

Penutup

Setelah lima belas tahun, saya melihat teknologi datang dan pergi, platform naik dan turun. Namun, esensi dari tantangan blogging—terutama pergulatan dengan konsistensi dan pencarian jiwa dalam tulisan—tetaplah sama.

lalu_di_blogger_sejak_sept_2009.webp

Mengeblog memang sebuah maraton yang sepi dan melelahkan. Namun, di setiap rasa lelah itu, ada kepuasan yang tak ternilai. Ini bukan lagi sekadar tentang membuat konten atau mengelola situs. Ini adalah tentang membangun warisan. Pada akhirnya, setiap artikel adalah bata, setiap pemikiran adalah adukan semen, yang perlahan-lahan membangun sebuah monumen digital. Sebuah jejak bahwa kita pernah ada, pernah belajar, dan pernah berusaha berbagi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dan bagi saya, itulah hadiah terbesar dari perjalanan panjang ini. Itulah yang saya dapat.

0 Komentar

Recommended Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.

Tamu
Add a comment...